Gambar

BADUY DAN SEGALA CERITA TENTANGNYA

Oleh: Mauliediyaa Yassin

Selasa sore (31/5/2016) lalu, kami—Reading Club Cagar Budaya Banten (RCCBB) yang dibentuk atas keresahan terhadap pudarnya rasa memiliki, merawat, membagi informasi (berdiskusi), dan lain sebagainya mengenai Cagar Budaya yang ada di Banten, menggulirkan diskusi dwimingguan di Museum Negeri Banten (tempat masih nomaden). Diskusi kali itu merupakan diskusi bahasan kedua sejak RCCBB terbentuk.

Diskusi kali itu membahas tentang “Tilikan Umum Penduduk Baduy”. Mbak Nilla, Antropolog Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga bekerja di Cagar Budaya Banten, hadir sebagai pembahas. Diskusi bergulir dengan sangat menarik. Tentu, bicara soal masyarakat Baduy harus ditilik dari segala arah. Hal itu yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan, dan agaknya akan semakin menarik jika pertanyaan dan pernyataan tersebut dituang ke dalam bentuk tulisan.

Dari diskusi tersebut, ada point-point penting yang ingin saya bagi. Pertama, tentang bagaimana seorang ahli atau peneliti menentukan peradaban manusia Baduy di zamannya. Bahwa, selain dari gen, masyarakat Baduy dapat diteliti dari volume otak yang dimiliki, ukuran tinggi badan, dan sampel darah masyarakat itu sendiri. Hal itu dinamakan metode Anthropometic yang dilakukan untuk menentukan apakah masyarakat Baduy itu masuk kategori ras atau bangsa yang tua, atau bisa jadi dikatakan masyarakat primitif atau tidak. Meski pada dasarnya, primitif atau tidak adalah hal yang relatif dan belum ajeg rumusannya.

Tentu hal itu juga akan berkaitan pula oleh pengakuan-pengakuan tentang Adam yang turun di tanah Baduy, kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Baduy, dan lain sebagainya. Entahlah, yang pasti, pernyataan Anthropologia itu bagi saya semacam provokatif yang asyik untuk dilanjutkan penelitiannya oleh para ahli.

Kedua, kelas atau kasta masyarakat Baduy diukur dari banyak hal. Dalam kehidupannya, masyarakat Baduy secara tidak langsung menerapkan gagasan “Sama rasa, sama rata”. Sebab pada aktivitas sehari-hari, masyarakat Baduy bisa dikatakan mampu bekerja sama dengan baik. Misalnya terkait rumah yang dibangun harus sama, dan lain sebagainya. Namun, secara lebih rinci, masyarakat Baduy memiliki tatanan kasta yang jauh terprinsip. Semisal adanya kelas-kelas spiritual yang mendominasi kepercayaan adat mereka. Menyoal kasta ini, sama halnya dengan Hindu-India.

Selain dapat dilihat dari perbedaan pakaian yang digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, dapat dilihat juga dari segi perkawinan. Masyarakat Baduy diharuskan kawin dengan “se-kasta-nya”. Misal, laki-laki Baduy Dalam harus mengawini perempuan Baduy Dalam, jika melanggar, maka keduanya dikeluarkan dari lingkungan Baduy Dalam, begitu juga dengan masyarakat Baduy luar. Dari hal ini, agaknya tetua adat atau Puun (di Baduy), memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakatnya. Hal itulah yang kemudian menghapuskan pernyataan bahwa masyarakat Baduy memiliki prinsip hidup “Sama rasa, sama rata”, tetapi lebih dari itu, mereka lahir dengan tatanan adat yang terstruktur.

Selanjutnya, mengenai Baduy, prilaku masyarakatnya yang berubah juga dapat dilihat dengan sangat gamblang dalam acara “Seba Baduy” kemarin. Bukan maksud menyalahkan, tapi ini realita dampak teknologi dan keterbukaan yang sangat lebar. Masyarakat Baduy (Baduy Luar terutama), sudah mengenal teknologi semacam telepon genggam (HP), televisi dengan bantuan aki, sudah sedikit menghilangkan tradisi “Jalan Kaki Jauh”, sebab kini mereka sudah tidak lagi risih duduk di mobil atau kendaraan lainnya. Hal itu tentu menjadi bahasan pro dan kontra.

Sebagian masyarakat di luar suku Baduy menganggap itu adalah hal yang harusnya diterima oleh masyarakat suku Baduy sebagai bentuk penerimaan dan sikap terbuka. Sebagian lain menganggap bahwa itu merupakan hal yang menyedihkan dan “meremehkan” leluhur. Ketika masyarakat suku pedalaman dikenalkan dengan hal-hal yang barangkali akan merusak tatanan adat mereka. Dan dengan bangganya, kita (masyarakat luar Baduy) mengajak mereka (suku Baduy) untuk berselfie-grufie lalu diposting di media sosial. Ah, itu tentu menjadi renungan tersendiri bagi saya.

Tetapi bagaimanapun, Baduy dan segala cerita tentangnya selalu menarik untuk didiskusikan. Bukan soal menerima atau menolak, yakin atau tidak yakin, berubah atau tidak berubah, tetapi di luar itu, banyak sekali hal yang mesti terus digulirkan untuk mencapai pembelajaran kebudayaan secara manusiawi. Barangkali itu yang bisa saya bagi dan saya yakin, dari sini akan banyak pertanyaan yang harus dilempar-jawabi oleh kita. [*]

 

*) Penulis adalah pelantun sajak bergiat di Reading Club Cagar Budaya Banten (RCCBB) dan aktivis Kubah Budaya, Serang, Banten.

 

[Review diskusi komunitas Banten Reading Club. Naik media online Bantennews, Kamis, 2 Juni 2016 | 13:09 || http://www.bantennews.co.id/baduy-dan-segala-cerita-tentangnya]

 

 

Tinggalkan komentar