Gambar

Kulekatkan Luka di Sudut Matamu

“Tak ada yang beda perasaan laki-laki dan wanita. Bahkan, ketika aku terluka, aku lebih sesak merasakan sakit itu.”
Suara laki-laki yang mulai kucintai ini serupa petir yang kudengar di siang hari. Tentu, siang hari yang tanpa hujan. Tanpa mendung yang membendung cinta, juga kesakitan yang tak tertahan.
Ucapannya kali ini benar-benar membuatku luluh. Aku pun sesak menahan derai yang tak sanggup ku tunjukkan di hadapannya.


Laki-laki yang sudah ku sentuh jemarinya ini, akan menjadi siluet yang menjelma mawar di bawah jendela kamarku, di redup lampu yang pernah pecah seperti juga kata-kataku yang pecah sebelum terdengar.
Sementara ikan dan jejak ombak yang ditinggalkan perahu nelayan, terdengar sangat lantang memaki aku yang tak bisa lagi menyusun per kata rasa yang mestinya ia bawa kembali ke dalam sepinya.
Ah, kadang kenyataan sangat menyebalkan!

**
Di ujung dermaga dengan lautan lepas, mereka saling diam memandangi perahu nelayan yang hilir mudik menertawai mereka. Ada detak yang tak mampu teresapi. Aku menyaksikan raut cemas nyonya besar. Dia tertunduk. Menghitung banyak gugup yang seolah turut andil dalam percakapan sore itu. Aku asyik menelan kenangannya. Menari nari di udara. Melihat nyonya besar yang tak bisa berkutik di hadapan Lakuti–laki laki yang mempunyai dua musim bagi nyonya. Duh, nya, kalau cinta ya jangan saling menyakiti. Jujurlah pada keadaan. Aku tak cemburu, justru aku akan sangat bahagia.


***
Serupa magma dari dasar merapi yang meletup. Aku lontar segala perih yang kurasa sebagai laki-laki. Mengapa dia sangat keras. Keras tak ingin menyamakan perasaan perempuan dan laki-laki. Padahal, kalau saja dia tahu, perasaan laki-laki lebih rapuh dari perempuan bahkan, perempuan yang diselingkuhi sekali pun!
Aku tak mengerti pada perempuan. Segala urusan dibuat rumit seketika.
Mengapa mereka tak menyadari, atau lebih tepatnya tak pernah mau sadar, kalau laki-laki juga punya perasaan. Walau kadang memang, mereka lebih memilih untuk berpikir panjang, ketimbang menyandra perasaannya untuk kemudian diretas dalam kesendiriannya.
Oh, wanita. Aku juga makhluk Tuhan yang ingin jujur menjejaki nasibku. Nasib percintaanku. Paling tidak, bisa bahagia sebelum matahari tenggelam di balik perahu nelayan yang karam di dermaga.

****
Matahari belum juga menenggelamkan cerita kami di ujung dermaga. Kedua tangan laki-laki ini menahanku untuk bergegas meninggalkan bising mesin perahu dan anak-anak keong laut yang sedari tadi menyadap percakapan kami. Duh, semoga tak lantas anak-anak keong itu mengabari siapa pun tentang rahasia yang kami lekatkan pada angin yang semilir.
Laki-laki ini terbata mengucap beberapa kata. Sebelum aku lepas pandanganku dari ingatan yang lalu, aku coba mengumpulkan kekuatan untuk menahan segala derai yang akhirnya merinai di sepanjang perjalanan menuju rumah.


“Kita tidak akan lagi bertemu. Aku tidak akan lagi merinduimu. Kembali pada perempuanmu. Perempuan yang pernah memintaku untuk menjadi kakak bagi dirinya. Aku rasa aku gagal menjadi wanita. Kali ini, aku nakal menjadi perusak hubunganmu. Kita tak akan kembali mengulang hari ini, kecuali pernikahan yang kau tawarkan untukku. Dan kita bisa memandangi lautan lepas, tanpa cemas yang menggelitik.”

Debur ombak kembali menerjang karang. Hempas lautan, membasahi kedua telapak kaki kami yang telanjang di laut lepas. Sementara burung-burung awan menari membaca mantra untuk kebahagiaannya sepanjang masa. Tapi aku, terlanjur memintanya kembali dan kulekatkan luka di sudut matanya, seperti juga luka yang kulekatkan di kedua mataku.

24 Juni 2014

*) Pict by plus.google.com

Tinggalkan komentar